GagasanHukumInternasionalPendidikanPolitikTerkiniUsaha

Celah Hukum, Biang Maraknya Tindak Pidana Perdagangan Orang

179
×

Celah Hukum, Biang Maraknya Tindak Pidana Perdagangan Orang

Sebarkan artikel ini

Kabar Rakyat Terkini, Kota Kupang_Kejahatan Perdagangan Orang atau Human Trafficking, masih menjadi momok di tengah masyarakat, Nusa Tenggara Timur, yang terhimpit keterbatasan ekonomi dan minim literasi. Sejumlah celah hukum pun mencuat dalam diskusi pada Seminar Internasional  dengan tema Countermeasures Against Trafficking in Persons From The Perspective of Human Rights Protection, yang digelar Fakultas Hukum Unika Widya Mandira Kupang, di gedung utama kampus pada Jumad (13 Juni 2025) pagi.

Menurut Ahli Hukum Pidana Unwira, Dwityas Witarti Rabawati, S.H. M.H. ada kekaburan tatanan norma hukum dalam UU 21 tahun 2007, tentang  TPPO.

“Banyak sekali persoalan formulasi dalam UU TPPO misalnya inkonsistensi di dalam perumusan tiga elemen yang harus dipenuhi oleh adanya suatu TPPO yakni unsur proses, cara dan tujuan. Ada di dalam pasal 2, 3 dan 4 ada hanya dua elemen dan pasal 6 untuk anak. Untuk anak, jika merujuk protokol Palermo dia tidak memerlukan cara untuk terjadinya TPPO terhadap  anak, cukup dengan proses dan tujuan. Tetapi dalam UU TPPO dirumuskan caranya yakni rumusan dengan cara apa pun, ini harus direformulasi.” paparnya Lembut.

Ahli Acara Pidana ini juga menyorot pemenuhan  hak korban atas restitusi, Harus ada jaminannya. namun implementasinya masih sangat sedikit korban TPPO mendapat restitusi. Ini dikarenakan tidak adanya mekanisme penyitaan aset pelaku maupun perusahaan dalam penindakan kasus TPPO.

Dwityas juga menyoroti adanya irisan hukum yang membuat penyidik ditarik ke ranah penempatan tenaga kerja, bukan perdagangan orang.

“Harus ada perlindungan yang konkrit terhadap korban. Namun jarang diterapkan karena irisan TPPO dan penempatan tenaga kerja sehingga tidak adanya restitusi. Kewenangan kepada penyidik untuk pembekuan aset pelaku. Jika terbukti maka aset2 itu digunakan sebagai pembayaran restitusi bagi korban namun karena belum diatur maka itu tidak bisa diterapkan,” urai Dosen Senior di FH Unwira ini tenang.

Dwityas pun mendesak negara untuk menciptakan mekanisme kompensasi. manakala restitusi tak terbayarkan.

“Dari mana uangnya? Bisa saja dari PNBP. Ini  sebagai tanggungjawab negara, karena negara gagal melindungi warganya,” papar Dwityas Rabawati menjawab keingintahuan mahasiswa Hukum Unwira.

Sementara Drkrimum Polda NTT, Kombes Pol Patar Silalahi mengungkap tiga faktor pemikat masyarakat NTT masih tergiur bujuk rayu pelaku TPPO.

“Kemiskinan,  ketidaktahuan masyarakat dan kurangnya lapangan pekerjaan menjadi faktor utama masyarakat keluar daerah, untuk mendapatkan penghasilan yang besar, baik oleh ajakan orang maupun inisiatif pribadi” ungkap Kombes Patar.

Patar mengungkapkan, sejak 2020 hinga 2025, Polda NTT mencatat 229 warga NTT menjadi korban perdagangan orang, akibat termakan bujuk rayu 101 pelaku TPPO.

Sejak 2020 hingga 2025 juga tercatat 639 PMI ilegal asal NTT meninggal dunia, hanya 22 orang yang legal.

“Sepanjang 2025, Polda NTT telah menangani  6 Laporan Polisi dengan 34 korban, dari 10 tersangka TPPO. ungkap Kombes Patar di hadapa ratusan mahasisa hukum Unika.

Mencegah kejahatan ini merajalela. Polda NTT melakukan sejumlah langkah preemptif dengan sosialisasi di ruang publik seperti tempat ibadah, pasar dan terminal atau pelabuhan.

Penyebaran pamflet dan memanfaatkan media sosial, sebagai upaya penetrasi informasi pencegahan TPPO.

“Tujuannya agar masyarakat terlibat dalam upaya pencegahan terjadinya perbuatan pidana perdagangan orang,”  tutup Patar Silalahi

Sementara Dr Armindo Moniz Amaral SH MH.,  Dosen Hukum di Universidade de Paz Timor lestee, membawa pandangan dan praktek baru di negaranya.

Pemerintah Timor Leste mengambil peran sebagai satu-satunya penyalur resmi warga mereka yang mau bekerja ke luar negeri.

‘Untuk pekerja migran di luar negeri, Pemerintah Timor Leste mengambil alih langsung dan tidak menyerahkan kepada pihak swasta untuk melakukan perekrutan maupun pemindahan. Dengan langkah ini justru  mencegah terjadinya perdagangan manusia di Timor Leste. Dibandingkan di Indonesia yang memberikan pihak swasta mendirikan PT untuk merekrut tenaga kerja ke luar negeri.  Khusus hal ini Indonesaia perlu belajar dari Timor Leste bagaimana negara mengambil langsung perekrutan tenaga kerja dan memindahkan  ke luar negeri. Yang perlu dilakukan juga adalah upaya perlindungan pekerja di luar ngeri di tempat mereka bekerja,” paparnya optimis.

Pelaksanaan seminar internasional dalam rangka memperingati Dies Natalis FH Unwira ke-39, Jumad, 13 Juni 2025, (dok Redaksi KRT)

Timor Leste belajar dari kasus penelantaran warganya di beberapa negara Eropa tahun 2023 silam. Negara bertindak tegas dengan membubarkan perusahaan penyalur tenaga kerja dan menghukum para pelaku.

Timor Leste pun tidak mengirimkan warganya ke negara-negara yang terindikasi Perusahaan di negaranya yang menjadi pelaku perdagangan manusia.

“Timor Leste tidak mengirim pekerjanya ke Malaysia dan Arab Saudi. Kita memilih Austrlia dan Korea Selatan. Serta melobi sejumlah negara yang potensial dengan catatan yang mampu melindungi hak sebagai pekerja dan menghindari penyiksaan dal=n lainya. Tidak sembarang mengirim.” jelasnya bersemangat.

Alumnus FH Unwira ini pun mendorong  pemerintah Indonesia untuk mengambil alih peran perusahaan penyalur tenaga kerja.

“Masa negara tidak mampu. Spirit perushaan itu mencari keuntungan, Negara harus menjalankan kewajiban melindungi dan menjamin kesejahteraan warganya,” tutupnya.

Sebagai motivasi, Armindo mengungkapkan jika di negaranya upah minimum hanya 120 dolar perbulan..

“Kami tidak ada lapangan pekerjaan, tetapi tidak ada korban perdagangan orang, karena Negara mengatur pengiriman warganya untuk bekerja ke luar negeri,” pungkasnya.

Menutup  diskusi dalam seminar internasional ini, Romo Leo Mali, salah seorang pemerhati issue buruh migran menekankan pada penguatan sistem politik dan ekonomi, sebagai kunci kemakmuran negara, bukan saja pada sumber daya alam yang cenderung mengundang kolonialisme.

“Kita menemukan hubungan antara negara sebagai pemangku kewajiban dan warga sebagai pemangku hak. Maka fenomena TPPO menunjukkan banyak aspek kegagalan negara dalam bidang ekonomi dan budaya dalam tanggungjawab negara mensejahterakan warganya,” ujar Dosen FFA Unika.

Romo Leo Mali pun ,menggugat pemerintah  agar tansparan  soal penerimaan pajak dari perusahaan penyalur tenaga kerja atau Buruh Migran. Dia pun mengajak semua pihak untuk bangkit melawan kejahatan ini karena melawan HAM dan merupakan kejahatan lintas negara atau Trans Nasionalcrime.

@RedaksiKRT

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *