Kabar Rakyat Semau_Sebelum video Pemboman ikan di laut tanjung Kulun viral di sosial media, kebiasaan Petani dan Nelayan menangkap ikan menggunakan bom rakitan, di kawasan perairan pulau Semau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, telah berlangsung sangat lama. Sejumlah warga yang kini berusia 30-an tahun mengaku sejak belum sekolah, sudah terbiasa mendengarkan dentuman bom di perairan sekitar kampung mereka.
Naruto (bukan nama sebenarnya), seorang warga desa Uiasa, kecamatan Semau Utara bersaksi, sangat biasa melihat warga setempat melaut sambil membawa bom ikan rakitan. Kebiasaan ini telah disaksikannya sejak masa kecil bersama teman-teman sebayanya.
“Su dari dulu orang dong bom ikan di laut Uiasa. Dari kitong (kami,Red.) kici su begitu,” papar Naruto.
Kenjiro (bukan nama sebenarnya), warga desa Letbaun pun memiliki kenangan serupa. Lelaki yang kini telah memiliki seorang anak ini bahkan mengaku bunyi ledakan bom sudah menjadi tanda, penjual ikan tak lama lagi melintasi kampungnya, membawa ikan segar.
Meski jarak rumah orangtuanya mencapai 5 km dari pantai, suara ledakan masih nyaring terdengar.
“Suaranya (ledakan) keras, kami bisa dengar dari rumah. Kalau sudah dengan bunyi, itu tidak lama penjual ikan sudah lewat depan rumah” paparnya ceria.
Kebiasaan buruk ini bukannya menghilang, namun masih tetap dipraktekkan oleh sejumlah warga setempat.
“Kalau dulu bunyi ledakannya keras, tapi sekarang bunyinya kecil. Mereka sudah upgrade cara rakit bahan-bahan bomnya,” ujar mereka bersamaan.
Naruto dan Kenjiro, mengaku meski praktek ini ditentang oleh banyak warga setempat, mereka tak berdaya menghentikan aksi perusakkan sumber daya alam lautnya. Kebiasaan buruk para pelaku pun terkubur menjadi rahasia umum.
Keengganan warga untuk membongkar Aktor-Aktor pembom ikan dan jaringannya, penuh alasan klasik.
Hidup pada pulau kecil yang tepat berada di hadapan Mako Polairud Polda NTT ini, penuh pertimbangan. Warga terhimpun dalam komunitas kecil, yang membuat mereka saling mengenal satu sama lain. Tak hanya semata kenalan, namun juga kerabat dan keluarga.
“Adooooo…. susah kaka. Karmana mau lapor, ko itu keluarga semua. Kitong kenal,” ujar Kenjiro dengan sedikit tersenyum.
“Apalagi biasanya abis dong bom, ikan dong kasi frei sa kalau kitong ada di pantai waktu dong pulang bom,” Naruto menambahkan ceritanya.
Naruto dan Kenjiro seaungguhnya juga sedikit di antara warga setempat, yang galau dengan kondisi ini dan berharap tak boleh lagi terjadi.
Kawasan perairan pulau Semau memang memiliki potensi ikan yang berlimpah. Berada di antara pulau Timor dan Rote serta berhadapan dengan laut Sawu, menjadikannya di jalur perjalanan ikan.
Namun penggunaan bom ikan mengakibatkan kerusakkan pada terumbu karang, sehingga potensi ikan menurun
“Orang mulai bom ikan di tanjung Kulun karena tinggal di situ sa yang ikan banyak. Terumbu karang di situ ju masih cukup bagus ” urai Naruto lirih.
Menyadari besarnya hambatan Psikologis dan Sosial warga setempat, Naruto dan Kenjiro hanya berharap pada upaya penegakkan hukum yang tegas.
“Orang mau lapor tapi pikiran, karena masih saudara na Om. Jadi begitu su. Akhirnya bom ikan jalan terus,” lanjud Kenjiro lara. Selain itu para pelaku memiliki kehidupan ekonomi yang lebih baik dan mempunyai jejaring yang luas dan bertingkat. Akibatnya warga setempat hanya memendamnya di lubuk hati masing-masing.
” Itu SN yang menjual detonator pi FN yang kena tangkap Polisi karena bawa bom ikan di sampan itu dulu pernah kena masalah,” papar Kenjiro menanggapi berita tertangkapnya FN, di pantai Uiasa, karena ditemukan sebotol bom ikan rakitan di sampannya, Sabtu (14/01/23) lalu.
Kepada penyidik ditgakum Polairud Polda NTT, FN mengaku membeli sebatang detonator dari SN, seharga Rp 100 ribu, pada 02 Januari 2023 silam.
Aksi para pembom ikan ini tergolong nekat dan nyaris tak dapat dipercaya. Pasalnya lokasi pemboman ikan tak jauh dari Mako Polairud Polda NTT, di desa Bolok. Bila menggunakan transportasi tradisonal dari pelabuhan Tenau menuju ke pelabuhan Ferry Hansisi, hanya butuh waktu 15 menit, menggunakan mesin kapal 15 PK.
Dari pelabuhan Hansisi menuju desa Uiasa melalui jalan raya, dapat ditempuh dalam waktu 10 menit.
Menyadari sejumlah problem ini, Naruto dan Kenjiro yakin, usaha mengurai lingkaran setan praktek pemboman ikan di pulau Semau, membutuhkan keberanian komunitas dan ketegasan penindakkan hukum oleh Negara.
“Sekarang di pantai desa Letbaun orang sudah takut bom ikan, karena Kepala Desa yang sekarang ini tegas. Dia pasti lapor itu pelaku ke Polisi,” tandas Kenjiro, yang kini tinggal dan bekerja di Kota Kupang.
Sikap pemimpin seperti ini yang sangat diharapkan oleh warga, karena jika dibiarkan, maka SDA Kelautan yang selama ini menjadi salah satu pendukung ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat setempat, akan hancur.
Pasca tertangkap patroli Polairud yang menggunakan KPP Sebayur XXII-3011, Tersangka FN, yang kini menjadi pasien Unit Penegakkan Hukum Polairud Polda NTT, dijerat dengan UU Darurat no 12 tahun 1951, tentang kepemilikkan senjata Api dan Bom. FN (39 tahun) terancam hukuman mati atau kurungan badan 20 tahun penjara.
Kawasan perairan Semau yang dikenal memiliki panorama indah dan menakjubkan di bawah lautnya, dan menjadi daya tarik wisatawan pada era tahun 80 an, kini dan nanti, akan menjadi kenangan semata, jikalau seluruh elemen masyarakat dan Aparatur Negara, bersama-sama memberangus praktek yang sangat merusak ini, melalui Penindakkan Hukum dan literasi kepada generasi penerus.
@RedaksiKRT