443443443443 Dari Pesisir Lembata, Muro Siap Jadi Perda Kearifan Lokal Pengelolaan Pesisir dan Laut NTT – Kabar Rakyat Terkini
BudayaDesaGagasanKabar BeritaNasionalPanganTerkiniUsaha

Dari Pesisir Lembata, Muro Siap Jadi Perda Kearifan Lokal Pengelolaan Pesisir dan Laut NTT

223
×

Dari Pesisir Lembata, Muro Siap Jadi Perda Kearifan Lokal Pengelolaan Pesisir dan Laut NTT

Sebarkan artikel ini

Kabar Rakyat Terkini, Lembata_Kabar gembira datang dari upaya membangun keadilan bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, yang terdampak perubahan iklim, termasuk masyarakat yang mendiami wilayah pesisir pulau-pulau di NTT. Kearifan lokal yang sekian puluh tahun dipraktikkan masyarakat dalam tata kelola pesisir dan laut, mulai mendapat dukungan kebijakan pemerintah.

Salah satu kearifan lokal itu adalah Muro, yang dipraktikan turun-temurun masyarakat pesisir Kabupaten Lembata.

Muro dan semua kearifan lokal sejenis di NTT telah masuk dalam daftar Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) 2025 di DPRD Nusa Tenggara Timur.

Kepastian masuknya Ranperda Muro dalam Propemperda ini diterima media ini dari dua legislator NTT asal Lembata, Alex Take Ofong dan Viktor Mado Watun,

Pada 1 Agustus 2025. Lembaga legislatif di bumi Flobamorata ini berkomitmen mendesain salah satu kebijakan, yang bisa mendukung distribusi keadilan bagi masyarakat sekaligus mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan.

Info awal ini diperkuat tindak lanjut penyerahan naskah akademik rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Inisiatif tentang Pengelolaan Muro dan Kearifan Lokal Lainnya di Propinsi NTT oleh Yayasan Barakat Lembata kepada DPRD NTT pada 4 Agustus 2025.

Naskah Akademik setebal 102 halaman ini diterima langsung Ketua DPRD NTT, Emilia Julia Nomleni bersama Ketua Komisi II DPRD NTT, Leonardus Lelo.

Dokumen ini sebelumnya sudah dikonsultasikan bersama Tim Ahli DPRD NTT.

Sehari sebelumnya, Yayasan Barakat yang jadi inisiator juga menggelar diskusi mendalam dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat.

Muro, Mitigasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan

Prof. Yoseph Yapi Taum, selaku perumus utama naskah akademik RanPerda Muro menyebutkan, ada dua urgensi pokok Perda Muro dan Kearifan Lokal Lainnya.

Muro dan kearifan lokal sejenis di NTT, menurutnya, pertama-tama telah berkontirbusi signifikan dalam menjaga ekosistem pesisir dan laut.

” Di tingkat komunitas, masyarakat telah menunjukkan praktik puluhan tahun secara turun temurun dalam melindungi biota laut dan pesisir, Perlindungan hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Ketiganya tidak hanya pondasi hidup ekosistem tapi juga langkah praktis mitigasi dampak perubahan iklim dan pemanasan global yang makin radikal.” jelasnya.

Hal kedua yang jadi alasan urgensinya perda Muro menurut Yapi Taum adalah terkait ketahanan pangan.

Perubahan iklim telah menciptakan ketidakpastian pangan global. Pola hujan yang tidak teratur dan suhu yang meningkat mengganggu produksi pertanian.

Praktik Muro telah membantu melindungi ikan dan biota laut lainnya, memberikan mereka waktu untuk berkembang biak. Ini secara langsung berpengaruh pada ketersediaan pangan dan gizi bagi masyarakat pesisir.

Urgensitas Muro yang dipaparkan Yapi Taum terkonfirmasi dengan praktik yang selama ini dilakukan masyarakat pesisir Lembata.

Dikesare, salah satu desa peisisir utara Kecamatan Lebatukan Lembata yang lebih dari 10 tahun jadi wilayah dampingan Barakat,  punya praktik Muro nan unik.

Rewa Ika adalah salah satu aktivitas dalam rangkaian sistem Muro yang digelar masyarakat Dikesare.

Rewa Ika, sebuah praktik pengambilan ikan yang diawali dengan ritual adat dan mengacu pada petunjuk leluhur, yang dijalankan masyarakat Desa Dikesare adalah salah satu praktik Muro.

Jika Dikesare punya Rewa Ika, Desa Watodiri di Ile Ape Lembata punya Badu.

Keduanya sama-sama sebuah perayaan mengambil hasil laut yang diatur siklus dan batasannya. Ada aturan dan ada sanksi.

Bahkan aktivitas pemanenan ikan secara berkala-periodik ini kini jadi event tahunan bertajuk Festival Badu.

Baik Rewa Ika maupun Badu, sungguh aktivitas memanen nan eksotis.

Orang boleh datang mengambil tapi dengan peralatan yang diatur.

Tanpa tombak, tanpa mata kail apalagi pukat. Rata-rata cerita orang yang pulang ikut Rewa Ika atau Badu adalah cerita gembira.

Beberapa ibu kadang gunakan sarung dan pria gunakan baju untuk mengisi ikan. Dan ikan selalu banyak.

Disinilah kontribusi Muro bagi ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Muro, dari Lembata untuk Keberlanjutan Pesisir dan Laut NTT

Di Lembata, dari 151 desa, 77 di antaranya berada di pesisir. Mayoritas warganya hidup dari laut. Dari 77 desa ini, sebanyak lima desa di antaranya bekerja bersama Yayasan Barakat untuk menghidupkan dan memperkuat tradisi muro untuk pesisir dan laut berkelanjutan. Desa Dikesare, Tapobaran, Kolontobo, Lamawolo dan Lamatokan. Dari praktik baik Muro di desa-desa inilah, Barakat membawanya untuk dukungan kebijakan provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain itu, pada Juli 2025, Yayasan Plan Indonesia juga secara resmi memulai pendampingan untuk penguatan praktik kearifan lokal muro pada 5 desa lainnya yakni Desa Dulitukan, Desa Watodiri, Riangbao, Muruona dan Petuntawa. Total ada 10 desa pesisir Lembata yang secara serius merevitalasi salah satu instrument penting penyanggah kehidupan mereka, Muro.
Meski baru 10 dari 77 desa, Pemerintah Kabupaten Lembata juga serius memperhatikan upaya perlindungan masyarakat ada termasuk praktik Muro. Keseriusan ini terbukti dengan adanya Muro sebagai praktik tata kelolah kawasan pesisir dan laut berbasis kearifan lokal yang dituangkan dalam Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lembata periode 2025-2030.

Seperti Lembata, Nusa Tengara Timur juga adalah wilayah yang lebih luas wilayah lautan ketimbang daratan. Daratan NTT hanya seluas 47.350 kilometer persegi sedangkan lautannya mencapai 191.484 kilometer persegi.

Selain Muro, praktik kearifan lokal tata kelolah laut dan pesisir di Lembata, hampir semua wilayah NTT juga punya kearifan lokal menjaga keberlangsungan ekosistem lautnya. Misalnya Lilifuk, yang dipraktikan masyarakat Kupang Barat Kabupaten Kupang. Atau tradisi Letu Ai dan Lowa Lara yang digelar turun temurun masyarakat Flores Timur.

Beberapa praktik ini membuktikan bahwa masyarakat NTT sejak masa lampau punya tingkat kemajuan dalam mengelolah eksositem tempat mereka menggantungkan nafkahnya.

Fakta ini menjadi landasan komitmen DPRD NTT untuk mendukung pembahasan Perda Muro dan Kearifan Lokal Lainnya di NTT.
Ketua Komisi II DPRD NTT, Leonardus Lelo menyebutkan pihaknya oprimis mendukung inisiatif baik yang dimulai masyarakat sipil.

“Ini adalah inisiatif yang luar biasa dari masyarakat sipil. Ini inisiati yang relevan dengan wilayah NTT yang kaya dengan laut. Kami di Komisi II menyambut baik dan akan bekerja keras untuk mengawal Naskah Akademik ini. Kami sangat optimistis usulan ini dapat ditetapkan menjadi Perda pada tahun ini juga,” tegasnya.

Muro, itu nama yang khas dengan Lembata. Namun menurut Benediktus Pureklolon, pemilihan nama Muro dan Kearifan Lokal lainnya sebagai nama perda punya alasan strategis dan filosofis.


“ NTT tidak punya satu kesatuan linguistik. Tetapi istilah Muro dari Lembata dapat menjadi maskot, branding, dan pintu masuk untuk mengangkat kearifan-kearifan lokal lainnya dari seluruh penjuru NTT. Sebagaimana Maluku memiliki Sasi sebagai ikonnya, kami yakin Muro dapat dipelajari dan dipahami sebagai representasi semangat konservasi adat masyarakat NTT,” ujar Benediktus.

Ia menambahkan, Perda ini merupakan perda inisiatif yang lahir dari keberhasilan Yayasan Barakat merevitalisasi tradisi Muro di Lembata. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika Perda ini dinamakan Pengelolaan Muro dan Kearifan Lokal Lainnya di Propinsi NTT’ sebagai bentuk penghargaan terhadap inisiatornya.

@RedakaiKRT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *