Kabar Rakyat Terkini, Lembata_Ada saja kabar gembira yang lahir dari rahim tradisi Muro, kearifan lokal masyarakat Lembata dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautnya. Jika di tingkat propinsi, DPRD NTT telah menyetujui dan siap menggodok Rancangan Peraturan Daerah (RanPerda) Muro dan kearifan lokal lainnya, di tataran kampung, Muro telah menjadi pondasi ekonomi biru yang strategis.
Desa Tapobaran Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, menjadi desa yang siap memulai pemanfaatan hasil laut untuk kemajuan ekonomi, dengan menghidupkan Muro.
Muro bukan gagasan asing bagi warga Tapobaran. Desa di pesisir utara Lembata ini jadi salah satu wilayah yang telah puluhan tahun menghidupkan Muro dalam tata kelolah laut.
Tapobaran layak menjadi salah satu kiblat, yang menginspirasi suatu kemajuan masyarakat adat, untuk menjaga, memelihara dan memanfaatkan hasil laut.
Praktik baik dari Tapobaran ini pun, yang turut menghantar tradisi Muro ke level Propinsi, untuk menjadi payung hukum positif Indonesia, sebagai sebuah peraturan daerah NTT, untuk menjaga kekayaan lautnya yang berlimpah.
Yayasan Barakat, lembaga pemberdayaan yang lebih dari 10 tahun bersama Tapobaran merevitalisasi keberadaan Muro, akan memulai proyek ekonomi biru di Tapobaran.
Tekad itu dimunculkan Barakat dalam Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi Kelompok Terarah yang digelar di Moting Ema Maria, Kantor Barakat, Lamahora-Lewoleba Timur Kabupaten Lembata, Kamis (07/08) lalu.
Opsi implementasi Ekonomi Biru ini dilontarkan Profesor Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum yang didapuk Barakat memfasilitasi FGD.
Ekonomi Biru, menurut Yapi, adalah konsep yang dikembangkan Gunter Pauli baru pada tahun 2010, tetapi substansinya sama seperti Muro yang sudah lama dikembangkan masyarakat Lembata, seperti juga Sasi yang dipraktikan di Maluku, pun pula Lilifuk di pesisir Kupang Barat Pulau Timor.
“Sama-sama menjadi penopang ekonomi, Muro dan Blue Economy, berfokus pada nilai berkelanjutan dan bertanggungjawab dalam pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir,” kata Yapi bersemangat.
Keduanya memiliki kontribusi paling mumpuni, dalam menjaga stok karbon bumi dari ekosistem Blue Carbon.
Ekosistem Blue Carbon adalah satu dari tiga pilar ekosistem pengendali stok kabon yang dinilai paling besar kontribusinya.
Ada ekosistem teresterial di darat seperti hutan dan padang rumput yang menyimpan karbon dalam jumlah besar pada biomassa tumbuhan dan tanah.
Ada juga ekosistem pertanian dan kehutanan ( lahan tani dan kebun kayu) yang juga menyerap karbon jika manusia bikin tata kelolah berkelanjutan.
Dari ketiga pilar ekosistem ini, Dosen Fakultas Sastra Universitas Sanatha Dharma ini menyebutkan, Blue Carbon adalah pilar ekosistem yang 4 kali lebih besar kemampuan menyerap dan menyimpannya karbonnya dibanding dua yang lain.
Wow! Dimanakah laut menyimpan kabon yang baik untuk hidup bumi?
Ribuan tahun, laut menyimpannya baik-baik dalam sedimen bawah air. Artinya, setiap pohon mangrove yang dibiarkan hidup beratus tahun, maka selama itu pula karbon tersimpan aman dan dengan caranya hadir menjaga iklim bumi yang membahagiakan.
Selain mangrove (salah satunya adalah bakau), padang lamun di dasar laut dan terumbu karang juga rumah simpan karbon yang aman jangka panjang.
Di Lembata, menurut Yapi, praktik Muro telah ikut menjaga sekitar 1850 hektar hutan bakau.
Kapasitas mumpuni blue carbon ini tersedia di pesisir Desa Tapobaran, juga di banyak pesisir yang masih menjaga eksosistemnya.
Dalam hitungan Yapi Taum, praktik Muro telah menjaga berdiri kokohnya rumah penyimpan karbon di pesisir dan laut sebanyak 1.850 hektar hutan bakau.
“Dengan Muro, orang pesisir Lembata bisa ambil ikan secukupnya saja. Sekeras apapun niat, segenting apapun kebutuhan, mereka masih berpikir untuk tidak mencaplok habis isi ekosistem hanya untuk kebutuhan sesaat, ” puji Yapi.
Konflik dipicu keterbatasan, tunggakan uang kuliah anak, standa kesehatan yang biasa-biasa saja, adalah konsekuensi pilihan mereka untuk tidak eksploitatif.
Makhluk bumi butuh banyak oksigen, oksigen butuh banyak karbon, dan karbon butuh banyak rumah penyimpanan. Dan dengan Muro, mereka berusaha menyimpan karbon.
Dengan Muro, Tapobaran dan juga masyarakat adat di pesisir yang masih “waras” berteman dengan alam, menjadi pahlawan bagi stok karbon-oksigen-udara sehat makhluk bumi.
Meski disisi lain, skema-skenario pembangunan, praktik hidup yang disebut modern dengan ruangan full AC, kota yang lebih banyak mobil ketimbang manusianya, semakin menggerus membunuh rumah-rumah penyimpan karbon, juga masyarakat adat yang menyimpannya.
Inilah ironi, paradoks kehidupan yang menurut Yapi Taum, perlu direduksi dengan memberikan penguatan bagi masyarakat adat termasuk Tapobaran.
Pahlawan bagi oksigen bumi, kebutuhan paling vital, tapi hidup mereka penuh keterbatasan ekonomi. Ekonomi Biru, dipandang sebagai pendekatan yang relevan untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan potensi wilayah pesisir.
Ekonomi biru bagi masyarakat pesisir, sedikit banyak ikut mereduksi ketidakadilan yang mereka alami dari sektor ekonomi, saat mereka justru menjadi pahlawan bagi iklim bumi.
Sedikitnya ada tiga kegiatan dalam FGD untuk Ekonomi Biru Desa Tapobaran.
Penguatan Industri Tambak Garam, Wisata Spiritual dan pengembangan produk turunan dari hasil laut yang punya nilai tambah ekonomi juga asupan gisi.
Tapobaran tak berpenduduk banyak. Hanya 485 jiwa yang tersebar pada 140 keluarga.
Namun dengan potensi ekologis yang mumpuni, level pendidikan yang paling banyak diraih (43,5 persen) penduduknya adalah tingkat Sekolah Dasar. Sebanyak 11,2 % tamat SMP. Tesisa 20,2 persen tamat SMA meskioun tingkat sarjana masih terbatas.
Tambak garam bukan aktivitas ekonomi baru bagi Tapobaran.
Pada 2016, pesisir desa ini jadi pusat perhatian dengan pembukaan lahan tambak garam dengan geomembram.
Dari potensi 10 hektar lahan, sekitar 6-7 hektar dikelolah. Pada sebuah sesi panen tahun 2017, dari 2 hektar lahan tambak garam saja memproduksi sedikitnya 100 ton garam kasar per bulan.
Potensi inilah yang kemudian digadang-gadang sebagai salah satu sektor yang bisa membranding Lembata sebagai Kabupaten Garam.
Entah mengapa, tahun berjalan, kepemimpinan Lembata terus berganti dan Tambak Garam Tapobaran meredup. Jejak tambak garam masih membekas.
Dari Jalan Trans Lembata, masih terlihat jelas, separuh dalam kepungan hutan mangrove.
Tentang potensi ini, Petrus Piro Maing, Kepala Desa Tapobaran optimis. Mereka punya potensi lahan, menurutnya, dan berkaitan dengan blue economy – blue carbon, pihaknya berkomitmen tetap jaga ekosistem mangrove berlandaskan muro.
“ Saya tidak tahu waktu dulu proyek itu apakah buka lahan sampai rusak mangrove. Tapi setahu saya dan sejak kami revitalisasi Muro, aturan kami tegakan. Yang tebang mangrove, kena sanksi. Apalagi beberapa lahan itu memang dekat hutan mangrove jadi kami jaga. Dan dengan lahan yang ada juga masih potensial. ” jelas Petrus.
Penjelasan Petrus Maing dipertegas Viktor Diri. Sebagai sesepuh, tokoh adat dan Ketua BPD Tapobaran, Viktor masyarakat adat Tapobaran memiliki kesadaran penuh untuk menjaga ekosistem pesisir terutama mangrove.
Aturan adat muro benar-benar jadi pengingat untuk tetap menjaganya.
Wisata Spiritual ala Ekonomi Biru Tapobaran muncul terkait satu potensi besarnya yakni Tanjung Nuhanera. Ini adalah tanjung yang jadi rumah besar beraneka biota darat. Di darat ada padang dengan ratusan ternak seperti sapi yang saban hari berkeliaran makan rumput di sela-sela pohon eukaliptus padang. Eksotis.
Tanjung ini dikitari bibir pantai dengan lapisan hutan mangrove padat. Jangan tanya lagi pesona bawah lautnya. Pilihan snorkelling dan diving sangat pas di tempat ini.
Juga ada yang lain yakni Nuhanera sebagai tempat terakhir, yang diyakini sebagai surga bagi beristirahatnya jiwa orang Tapobaran, kelak setelah keluar dari diri biologis. Meninggal.
Nuhanera tidak hanya eksotis, juga sacral mistis. Opsi wisata spiritual berlandaskan ekonomi biru pantas dikembangkan.
Ke Kupang, Muro pergi mengakses dukungan hukum positif negeri. Di Kampung, Muro jadi pengingat dan perekat, landasan nilai untuk membangun ekonomi rumah keluarga, tanpa merusak rumah tetangga abadi, alam.
Muro dan Ekonomi Biru, untuk 100 persen anak Tapobaran yang cerdas, sejahtera tapi tetap berakhlak.
@RedaksiKRT